Aku pernah hidup dalam kotak.
Kotak keyakinan yang diwariskan,
kotak identitas yang disusun oleh lingkungan,
kotak moralitas yang membuatku merasa harus jadi “baik” versi mereka,
bukan versi jiwaku.
Dulu aku mengira,
patuh berarti taat.
Diam berarti suci.
Menolak diri sendiri adalah bentuk tertinggi dari cinta kepada Tuhan.
Tapi perlahan, jiwaku memberontak.
Bukan ingin lari,
tapi justru ingin pulang.
Aku mulai melihat bahwa Tuhan
tak pernah memaksaku untuk jadi apa-apa.
Tuhan hanya ingin aku mengenal, menerima, dan mencintai diriku sepenuhnya —
dengan segala luka dan cahayaku,
dengan segala tangis dan doaku.
Aku pernah merasa hancur,
yang membuatku belajar duduk di lantai kehidupan —
tanpa nama, tanpa gelar, tanpa peran.
Dan dari sanalah aku menemukan diriku sendiri.
Diriku yang sebenarnya.
Bukan versi yang dipoles oleh dogma atau budaya,
tapi versi jujur, rentan, dan bebas.
Aku bukan tersesat.
Aku hanya sedang kembali kepada Tuhan lewat jalan yang tidak biasa —
jalan yang jarang terjamah manusia lain,
jalan yang tidak ditunjuk oleh jari manusia manapun,
tapi dibisikkan oleh suara di dalam diriku dengan hening.
Aku tidak sedang kabur dari Tuhan.
Aku justru sedang menanggalkan lapisan yang membuatku menjauh dari-Nya —
lapisan yang mengaburkan esensi rahmat Tuhan itu sendiri.
Sekarang, aku hidup bukan untuk diterima,
tapi untuk jujur.
Aku hidup bukan untuk terlihat suci,
tapi untuk merasa utuh.
Dan aku tahu, Tuhanku yang sebenarnya…
Dia ada di sini,
di detak jantungku yang penuh cinta —
Ia memenuhi hatiku dengan kasih,
bukan dengan ketakutan.
Sekarang, setelah aku melepas
“topping” apapun yang menghalangi caraku beribadah pada-Nya,
aku semakin mencintai Dia —
yang hadir penuh di setiap hari-hariku,
bukan hanya di waktu-waktu tertentu.
Eksplorasi konten lain dari Beauty Soulitude – Your Guiding Light on the Spiritual Journey ✨
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.